Perkembangan Teknologi kecerdasan buatan atau Artificial Intelligence (AI) terus diperluas sebagai langkah untuk mengatasi berbagai persoalan di berbagai sektor industri. Namun demikian perkembangan AI dikhawatirkan dapat menggantikan peran manusia di dunia kerja.
Dirjen Aplikasi dan Informatika (Aptika) Aptika Kemkominfo, Semuel Abrijani Pangerapan mengatakan bahwa banyaknya pekerjaan yang hilang tidak hanya disebabkan oleh AI tetapi sudah dimulai seiring dengan masifnya digitalisasi. Saat ini pemerintah fokus mengatur pengguna dan penyedia layanan AI agar tidak berdampak negatif terhadap pekerja.
Sementara CEO & Co-Founder Kata.ai, Irzan Raditya berpandangan bahwa revolusi AI bisa menggantikan peran manusia di sejumlah pekerjaan namun sekaligus mendorong penciptaan peluang kerja baru. Saat ini teknologi AI diarahkan untuk mendukung produktivitas pekerja.
Kecerdasan buatan atau Artificial Intelligence (AI) digadang-gadang mampu menggantikan 375 jenis lapangan pekerjaan. Kondisi ini tentu menuntut upaya besar untuk mengembangkan keterampilan pekerja yang baru agar lapangan pekerjaan tetap tersedia.
Menurut Dosen Ilmu Komunikasi Syaifa Tania, MA automatisasi AI untuk memenuhi kebutuhan individu secara khusus inilah yang membuat AI banyak dipakai dalam industri. Kapabilitas ini membantu industri menemukan target pasar yang tepat, hingga informasi tersampaikan dengan efektif.
“AI kalau kita bayangkan dulu itu jauh ya dengan sekarang. Kalau dulu itu kita bayangkan AI sangat canggih hingga tidak semua orang bisa menggunakan. Tapi sekarang justru AI sudah menjadi bagian dari hidup kita. Tentunya di samping kapabilitasnya, ada berbagai tantangan yang muncul,” ucap Syaifa Tani dalam diskusi “Artificial Intelligence dalam Industri Komunikasi yang digelar Magister Ilmu Komunikasi UGM seperti dilansir laman UGM.
Tanika mencontohkan penerapan AI di industri komunikasi adalah iklan. Dalam iklan, AI digunakan untuk mengakses konten media.
“Ini menjadi salah satu contoh yang familiar kita temui. Ketika kita sama-sama membuka satu website, bisa jadi iklan yang saya terima dengan yang Anda terima itu beda meskipun website nya sama,” ucap Tania.
Menurut Tania, terdapat empat hal utama yang menjadi tantangan berkembangnya AI. Pertama, proteksi konsumen terhadap produk dan layanan yang digunakan. Kaitannya dengan privasi. Kedua, adanya misinformasi, seperti hoaks. Ketiga, news diversity, personalisasi berita yang memungkinkan institusi berita dan audiens sama-sama meraih keuntungan. Sedangkan keempat ada online targeting and community standard.
“Layanan AI yang cenderung melakukan personalisasi informasi menyebabkan individu terpapar banyak informasi sejenis, sehingga muncul hambatan untuk mendapatkan informasi yang berbeda. Ini juga menjadi salah satu alasan mengapa hoaks saat ini mudah tersebar,” terangnya.
Rosinski Hiro, MSc, alumni Departemen Ilmu Komunikasi UGM sekaligus Head of Strategy Ambilhati juga memberikan gambaran bagaimana AI memengaruhi hidup manusia. “Kalau kita bicara tentang industri, pekerjaa, profesi maka kita perlu mengenal dua konsep. Pengetahuan kita itu adalah modal utama kita, sedangkan informasi adalah komoditas. Komoditas ini tentunya sudah diakuisisi oleh Google, Instagram, atau sekarang META ya. AI selamanya tidak akan pernah menggantikan manusia, tapi manusia yang menggunakan AI lah yang akan lebih unggul,” tuturnya.
AI menurutnya mungkin bisa menawarkan informasi yang lebih cepat, murah, dan banyak. Tapi manusia lebih bisa memberikan informasi secara tepat, berkualitas dan relevan.
“Kalau dibanding manusia, relevansi informasi dari AI masih sangat jauh. AI tidak perlu diposisikan sebagai ancaman, justru fokus yang harus dilakukan adalah bagaimana AI bisa dimanfaatkan sebaik mungkin," tegasnya.
Sementara itu, berdasarkan laporan World Economic Forum, robot, otomatisasi dan Artificial Intelligence (AI) atau kecerdasan buatan akan bisa menggantikan pekerjaan manusia. Jumlahnya tak main-main, 85 juta pekerjaan akan digantikan AI pada 2025. AI memang ancaman nyata!
"Kalau kita bicara ancaman, jelas (AI) bisa menjadi ancaman (bagi manusia) karena pengembangan AI yang specialized mengerjakan tugas tertentu, di beberapa aspek itu, kalau dievaluasi, sistemnya sudah menyamai atau bahkan lebih baik dari manusia," kata Peneliti di Pusat Riset Kecerdasan Artifisial dan Keamanan Cyber dari Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Hilman Pardede saat live streaming Eureka! Edisi 'Bersekutu dengan AI', Senin (29/5) malam.
Para pengusaha, sebut Hilman, akan melihat ini sebagai peluang. Jika mesin bisa melakukan sebuah tugas yang diperlukan lebih baik dari manusia, mengapa tidak menggunakannya? Keputusan ini tentunya dengan mempertimbangkan biaya operasional yang harus dikeluarkan dan keuntungan yang bisa didapat.
"Jika penerapan AI secara cost dan benefit lebih menguntungkan, akan sulit untuk membatasi atau mencegah seorang pengusaha untuk memutuskan beberapa pekerjaan yang biasa dilakukan oleh manusia menjadi digantikan oleh AI," ujarnya.
Sejumlah perusahaan, lanjut Hilman, sudah memperlihatkan hal itu, dan tanpa disadari sebenarnya AI sudah hadir di keseharian kita. Misalnya beberapa perusahaan sudah mulai menggantikan customer service dengan AI dalam bentuk chatbot yang sudah dilatih menjawab dan mengobrol semirip mungkin seperti manusia.
"Ancaman itu jelas ada. Kita melihat bahwa deep learning yang digunakan dalam AI ini arsitekturnya akan semakin bagus kalau datanya semakin banyak. Dan kita berada di era big data. Kita adalah pengumpul data. Setiap hari kita posting di Instagram, Facebook, YouTube. Perusahaan-perusahaan itu punya data besar dan diterapkan untuk melatih sistem mereka. Makin lama AI makin pintar, makin bagus kemampuannya," Hilman memberikan gambaran.
Namun di sisi lain, menurut Hilman, kehadiran AI sebenarnya tak melulu tentang ancamannya menggantikan manusia. Otomatisasi, robot, dan AI memang suka atau tidak suka akan mengubah pola tenaga kerja, sama seperti perkembangan teknologi era sebelumnya.
"Kalau kita lihat sejarahnya, hampir semua sejarah perkembangan teknologi itu selalu mengubah pola tenaga kerja. Dulu waktu listrik ditemukan, listrik mengubah industri 2.0. Telekomunikasi, dengan adanya telepon juga mengubah pola tenaga kerja," jelas Hilman.
Ia memberikan contoh teknologi switching yang merupakan bagian kecil dalam teknologi telekomunikasi, namun menciptakan perubahan signifikan termasuk berdampak pada hilangnya sebuah pekerjaan yang dilakukan manusia.
"Dulu kalau mau telepon itu ada pekerja yang bertugas memindahkan line telepon dari si user ke target atau tujuan menelepon. Itu dilakukan manual, sehingga perusahaan telekomunikasi menyewa banyak orang itu untuk tugas itu. Setelah ada teknologi switching, tugas itu bisa diotomatisasi. Semua pegawai switching tidak lagi diperlukan sehingga menyebabkan banyak PHK di perusahaan telekomunikasi," urainya.
Dari contoh tersebut, dampak bawaannya adalah teknologi automatic switching membuat biaya telekomunikasi menjadi lebih murah, sehingga hampir semua bisnis pada masa itu bisa memiliki telepon. Karena sudah memiliki telepon, mulai bermunculan jasa antar barang yang memungkinkan orang menelepon untuk melakukan pengantaran barang.
"Jadi ada peluang bisnis baru. Saya rasa AI akan begitu juga. Jadi tentu ada peluang AI ini menggantikan manusia, tapi saya juga percaya nanti akan muncul peluang baru yang kita mungkin belum kepikiran sekarang, akan mengubah pola tenaga kerja, sehingga terbuka bisnis atau pekerjaan baru," tutupnya.
Bank investasi Goldman Sachs melaporkan artificial intelligence (AI) atau kecerdasan buatan dapat menggantikan pekerjaan manusia setara dengan 300 juta pekerjaan atau hampir seperempat pekerjaan di AS dan Eropa.
AI sejauh ini mampu membuat konten yang tidak dapat dibedakan apakah itu hasil manusia atau bukan, ini adalah sebuah kemajuan besar. Pemerintah Inggris berencana untuk mempromosikan investasi AI di negaranya, dengan maksud mendorong produktivitas di seluruh ekonomi, dan telah mencoba meyakinkan publik tentang dampaknya.
"Kami ingin memastikan bahwa AI dapat melengkapi cara kami bekerja di Inggris, membuat pekerjaan kami lebih baik," kata Sekretaris Teknologi Michelle Donelan, dilansir dari BBC, Jumat (31/3).
BBC News sebelumnya telah melaporkan kekhawatiran beberapa artis terkait generator gambar AI yang dianggap dapat membahayakan prospek pekerjaan mereka.
Carl Benedikt Frey, Direktur di Oxford Martin School, Universitas Oxford, mengatakan, "Satu-satunya hal yang saya yakini adalah bahwa tidak ada cara untuk mengetahui berapa banyak pekerjaan yang akan digantikan oleh AI di masa depan".
Contoh pekerjaan yang mampu dilakukan ChatGPT adalah memungkinkan lebih banyak orang dengan keterampilan menulis rata-rata untuk menghasilkan esai dan artikel yang berkualitas.
Selama beberapa tahun kedepan AI mungkin akan mempengaruhi upah kerja manusia. Seperti kemajuan teknologi GPS pada platform uber yang mampu mengetahui semua rute jalan hingga menurunkan upah pengemudi yang dianggap lebih dimudahkan oleh teknologi.
Menurut Bank investasi Goldman Sachs ini, dilaporkan 60 persen pekerja saat ini berada dalam pekerjaan yang tidak ada pada tahun 1940. Tetapi penelitian lain menunjukkan perubahan teknologi sejak 1980-an telah menggusur pekerja lebih cepat daripada menciptakan lapangan kerja.
Jika AI seperti kemajuan teknologi sebelumnya, laporan tersebut menyimpulkan kemungkinan pengurangan lapangan kerja dalam waktu dekat.
Namun, dampak jangka panjang dari AI masih tidak pasti. Kepala eksekutif think tank Resolution Foundation, Torsten Bell, mengatakan, "Kami tidak tahu bagaimana teknologi akan berkembang atau bagaimana perusahaan akan mengintegrasikannya ke dalam cara mereka bekerja."
Ini tidak berarti bahwa AI tidak akan mengganggu cara kerja manusia, tetapi kita tetap harus memperhatikan potensi keuntungan dari produktivitas yang lebih tinggi dan layanan yang lebih murah untuk dijalankan, serta risiko tertinggal jika perusahaan dan ekonomi lain beradaptasi dengan lebih baik terhadap perubahan teknologi. (tik/mdk)